Mengatasi masalah pekerja anak

Serangkaian tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pekerja anak masih menjadi perhatian.

Seluruh pemangku kepentingan harus terlibat dalam menangani masalah pekerja anak secara menyeluruh dan berkesinambungan.

Nahar, Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), menyampaikan hal ini.

Di Indonesia, masalah penurunan pekerja anak adalah bagian penting dari Arahan Presiden Republik Indonesia ke KemenPPPA yang keempat.

Nahar mengatakan dalam keterangan resmi yang dikutip Senin (8/1/2023), “Pekerja anak adalah masalah global yang direncanakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Komitmen yang menjadi cita-cita bersama ini merupakan upaya global yang dibangun sebagai respons atas realitas pekerja anak di dunia yang masih begitu memprihatinkan.”

Dia juga mengatakan bahwa gerakan dan komitmen yang terus-menerus untuk mengakhiri pekerja anak diperlukan, terutama di Indonesia, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Nahar mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 mengenai Batas Usia Minimum Anak Diizinkan Bekerja, yang menunjukkan komitmen mereka untuk menangani pekerja anak. Dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 melaksanakan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA).

Pemerintah juga memasukkan isi dari Konvensi ILO mengenai Pekerja Anak (PA) dan BPTA ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 untuk meningkatkan komitmen nasional.

UU ini mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Nahar mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan banyak hal untuk menghilangkan dan mengurangi pekerja anak. Ini telah dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan.

Dari mulai kampanye kebijakan, peningkatan kapasitas kelembagaan, peningkatan kesadaran masyarakat, hingga pengembangan uji coba di berbagai industri yang sering mempekerjakan anak, seperti perikanan, pertanian, pertambangan, pariwisata, dan trafficking untuk eksploitasi seksual dan pekerja rumah tangga anak (PRTA).

Nahar menyatakan, “Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, jumlah pekerja anak terus meningkat dari tahun ke tahun dan bahkan sempat menurun setelah pandemi COVID-19.”

Nahar mengatakan bahwa angka pekerja anak terus meningkat setiap tahun, menunjukkan bahwa sistem perlindungan anak harus terus diperkuat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan penyadaran, pencegahan, dan penanganan pekerja anak.

Jumlah pekerja anak di Indonesia pada 2019 sebesar 0,92 juta, 2020 sebesar 1,33 juta, 2021 sebesar 1,05 juta, dan 2022 sebesar 1,01 juta, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Data menunjukkan tren kenaikan pada tahun 2020 karena pandemi COVID-19 dan penurunan pada tahun 2021. Dari 2019 hingga 2021, ada peningkatan jumlah pekerja anak di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan. Selain itu, 22 dari 34 Provinsi di Indonesia memiliki jumlah pekerja anak lebih tinggi dari jumlah nasional.

Karena guncangan ekonomi yang terjadi pada masyarakat, angka pekerja anak kembali mengalami kenaikan yang cukup drastis selama pandemi. Banyak anak yang terpaksa membantu orang tua mereka menjalankan usahanya atau bekerja untuk menambah penghasilan mereka.

Nahar menyatakan bahwa masalah pekerja anak, eksploitasi, dan kekerasan terhadap anak ini sering terjadi pada lapisan masyarakat yang sebagian besar dipengaruhi oleh kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan ekosistem layanan pendidikan, kesehatan, perlindungan anak, dan kesejahteraan sosial yang kurang.

Selain itu, Nahar menekankan bahwa pencegahan dan penanganan pekerja anak harus dilakukan dari berbagai sektor, bukan hanya dari satu. Ini harus mencakup semua sektor yang terlibat dalam pemenuhan hak anak.

Hak untuk perlindungan keamanan dalam hal perdagangan orang termasuk hak untuk pendidikan, kesehatan, perlindungan, dan perlindungan sosial.

Untuk menangani dan mengintervensi masalah ini, dibutuhkan berbagai pendekatan. Selain itu, menjadikan Anak Tidak Sekolah (ATS) sebagai prioritas utama untuk melakukan penilaian risiko eksploitasi pekerja anak.

Baca juga: masalah pekerja pada anak dan dampaknya pada kesehatan anak

Related Posts