Korban Cyberbullying merupakan masalah serius yang semakin marak terjadi di kalangan remaja. Akibat pandemi COVID-19, semakin banyak anak dan remaja yang terdampak cyberbullying.
Cyberbullying dan cybervictimization
Penelitian selama ini berfokus pada faktor risiko umum cyberbullying dan cybervictimization (menjadi korban cyberbullying). Namun, belum ada penelitian yang melihat faktor risiko awal (onset) yang membuat remaja menjadi pelaku atau korban cyberbullying.
Cyberbullying dan cybervictimization telah menyebar di seluruh dunia, dan karena COVID-19, semakin banyak anak-anak dan remaja yang terkena dampaknya. Sejak awal abad ke-21, penelitian telah menyelidiki dan menyoroti faktor risiko utama untuk cyberbullying dan cybervictimization, dan banyak program pencegahan dan intervensi anti-cyberbullying telah dikembangkan dan dinilai keefektifannya. Meskipun demikian, belum ada penelitian yang secara khusus berfokus pada faktor risiko individu, relasional, dan kontekstual yang terkait dengan timbulnya keterlibatan anak dan remaja dalam cyberbullying dan cybervictimization.
Studi Longitudinal Remaja Italia
Penelitian ini mengamati 333 siswa Italia berusia 10-16 tahun selama satu tahun. Mereka diminta mengisi kuesioner online anonim tentang pengalaman cyberbullying. Untuk mengatasi kekosongan ini, 333 siswa Italia berusia 10-16 tahun (M = 12.16, SD = 1.35) terlibat dalam sebuah studi longitudinal selama setahun dan mengisi Tabby Improved Checklist secara anonim online dua kali dengan selang waktu 6 bulan. Faktor risiko awal untuk cyberbullying dan cybervictimization telah dianalisis secara terpisah dengan mengecualikan semua siswa yang terlibat dalam cyberbullying dari sampel awal atau dalam cybervictimization pada awal penelitian (T1).
Temuan Penelitian:
- Pelaku Cyberbullying: Remaja laki-laki, pernah terlibat bullying di sekolah, kurang paham bahaya internet, dan memiliki empati yang tinggi, berisiko lebih tinggi menjadi pelaku cyberbullying.
Hasilnya menunjukkan bahwa menjadi laki-laki, terlibat dalam bullying di sekolah, memiliki tingkat kesadaran risiko online yang rendah, dan memiliki tingkat empati afektif yang tinggi merupakan faktor risiko awal yang signifikan untuk cyberbullying. Demikian pula, menjadi laki-laki, terlibat dalam bullying dan victimization di sekolah, memiliki tingkat empati afektif yang tinggi, dan pembebasan moral merupakan faktor risiko awal untuk cybervictimization. Empati yang tinggi mungkin saja membuat remaja ini lebih mudah memahami bagaimana tindakan mereka dapat menyakiti orang lain, namun mereka kurang mampu mengontrol dorongan untuk melakukannya di dunia maya.
- Korban Cyberbullying: Remaja laki-laki, pernah terlibat bullying atau menjadi korban bullying di sekolah, memiliki empati yang tinggi, dan memiliki sikap moral yang kurang kuat, berisiko lebih tinggi menjadi korban cyberbullying.
Sikap moral yang kurang kuat mungkin membuat remaja ini lebih mudah terpengaruh oleh tekanan teman sebaya atau kurang mampu membela dirinya sendiri di dunia maya.
Kesimpulan:
Cyberbullying memiliki dampak psikologis dan perilaku yang negatif. Penelitian ini memberikan informasi penting tentang faktor risiko awal yang membuat remaja menjadi pelaku atau korban cyberbullying.
Temuan ini dapat digunakan untuk mengembangkan program pencegahan cyberbullying yang lebih efektif. Program tersebut perlu menargetkan faktor risiko awal dan mengajarkan remaja untuk:
- Menggunakan internet dengan bijak dan bertanggung jawab.
- Mengembangkan keterampilan sosial yang positif.
- Membangun sikap mental yang kuat untuk menolak tekanan teman sebaya.
Mengingat konsekuensi negatif secara psikologis dan perilaku dari cyberbullying dan cybervictimization, artikel ini membahas implikasi praktis dan kebijakan untuk penelitian masa depan, menekankan perlunya mengembangkan, menerapkan, dan mengevaluasi keefektifan program pencegahan primer yang menangani faktor risiko awal untuk cyberbullying dan cybervictimization.
Penelitian ini seperti menyediakan peta jalan bagi kita untuk memahami bagaimana dan mengapa anak-anak dan remaja terlibat dalam perilaku cyberbullying dan cybervictimization. Dengan memperhatikan temuan ini, kita dapat mengembangkan strategi pencegahan yang lebih efektif dan memperkuat pendekatan kebijakan yang mendukung perlindungan anak dan remaja dari ancaman online.
He who has health, has hope; and he who has hope, has everything.” – Arabian Proverb.