Ciptakan Lingkungan Kerja Inklusif untuk Penyandang Autisme. Pernah denger istilah “autisme”? Kondisi ini memengaruhi cara seseorang berpikir dan berperilaku, dan faktanya, 80% penyandang autisme mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Kenapa ya?
Melebihi 80% dari orang-orang autis menganggur, dan hanya sebagian kecil dari mereka yang bekerja. Rasanya sangat melelahkan bagi orang-orang autis untuk bekerja di lingkungan yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka dan penuh dengan pemicu sensorik. Budaya kerja seringkali tidak inklusif, terutama bagi orang-orang dengan disabilitas dan neurotipe yang berbeda. Hal ini seringkali berarti bahwa 20% dari kita yang bekerja selalu menyembunyikan diri, menghabiskan sebagian besar kapasitas kognitif kita untuk ‘berpura-pura normal’ dan bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh majikan kita.
Orang dewasa autis seringkali didiagnosis terlambat
Jadi banyak dari mereka bahkan tidak tahu bahwa mereka autis, sehingga mereka tidak akan tahu bahwa mereka membutuhkan penyesuaian wajar untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik dan tetap sehat. Sangat penting bagi mereka dengan ADHD juga untuk memiliki penyesuaian wajar di tempat kerja, karena dengan ADHD, Anda lebih mungkin mengalami kesulitan dengan hal-hal yang memengaruhi kemampuan dan kualitas kerja Anda.
Walaupun sudah tahun 2024, autisme masih memiliki stigma yang signifikan, terutama di tempat kerja.
Jujur, saya takut memberi tahu majikan saya bahwa saya autis karena saya tahu itu hanya akan menjadi alasan lain bagi mereka untuk menganggap saya sebagai anak kecil dan mengucilkan saya lebih jauh, karena saya sudah menjadi satu-satunya orang berkulit warna di tim saya. Namun, ADHD tidak memiliki stigma yang sama karena kondisi tersebut dapat diobati dengan obat, jadi saya sudah mengungkapkan bahwa saya memiliki ADHD. Karena banyak dari ciri-ciri autis dan ADHD tumpang tindih, saya bisa meminta akomodasi yang dapat lebih mendukung saya sebagai karyawan autis dengan ADHD.
Bayangin: Penyandang Autisme Bekerja di lingkungan penuh tekanan, bising, dan nggak sesuai kebutuhan mereka. Belum lagi stigma yang masih melekat. Nggak heran kalau banyak penyandang autisme merasa lelah dan kesulitan beradaptasi.
Tantangan di dunia kerja:
- Sensor overload: Banyak suara, lampu terang, dan keramaian bisa bikin stres dan cemas.
- Komunikasi: Ngobrol, rapat, presentasi bisa jadi tantangan tersendiri.
- Rutinitas:Â Perubahan mendadak atau lingkungan yang nggak terstruktur bisa bikin bingung.
Dampaknya gimana?
- Banyak yang terpaksa “masking” atau pura-pura jadi orang lain, yang tentu melelahkan.
- Enggak dapat dukungan yang tepat, berujung ke masalah kesehatan mental kayak depresi dan cemas.
- Potensi mereka nggak tersalurkan, padahal banyak yang punya kemampuan luar biasa!
Solusinya? Ciptakan lingkungan kerja inklusif!
- Fleksibel: Boleh kerja dari rumah atau jam kerja disesuaikan, soalnya stres sensorik bisa bikin produktivitas turun.
- Komunikasi terbuka: Ajukan pertanyaan kalo nggak ngerti, dan jelaskan juga kesulitan yang dihadapi.
- Struktur dan rutinitas: Beri jadwal dan instruksi yang jelas, dan sediakan ruang tenang bila perlu.
- Pelatihan: Edukasi tentang autisme untuk semua karyawan, biar ngerti dan bisa saling mendukung.
Kemampuan untuk bekerja dari rumah: Bekerja dari rumah sangat diperlukan bagi orang-orang yang cacat dan bahkan lebih bagi mereka yang autis. 70% dari orang cacat mengatakan bahwa jika majikan mereka tidak memperbolehkan mereka bekerja secara remote, hal itu akan berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental mereka. Pandemi memberikan orang-orang autis dan non-autis cara baru untuk merevolusi cara kerja, dan bekerja dari rumah dapat mengubah hidup bagi mereka.
Penulis membahas pentingnya memungkinkan orang-orang autis untuk merekam rapat, yang akan memberi mereka kesempatan kedua untuk memproses diskusi dan mengekstrak poin-poin penting. Penyesuaian aksesibilitas ini penting bagi individu autis, yang seringkali kesulitan mengingat poin-poin penting selama rapat.
Pelatihan Kesadaran Autisme/Neurodiversitas juga disarankan sebagai cara untuk memastikan karyawan autis merasa dipahami oleh rekan-rekan sejawat dan manajer mereka.
Jadwal kerja yang fleksibel juga disarankan karena individu autis lebih mungkin mengalami gejala yang berkelanjutan dari meltdown, kelelahan, depresi, kecemasan, dan kondisi nyeri. Pilihan kerja yang fleksibel dapat membantu individu autis berfungsi lebih baik dan selesai lebih awal karena overload sensorik atau shutdown. Pegawai sektor publik sering kali berhak mendapatkan cuti yang signifikan dengan bayaran, seperti mingguan cuti tahunan dan enam bulan cuti sakit. Hal ini memungkinkan individu autis untuk pulih dari migrain kronis dan kelelahan tanpa dihukum dengan pengurangan gaji.
Lingkungan kerja inklusif bukan cuma soal memenuhi kebutuhan penyandang autisme, tapi juga menghargai perbedaan dan potensi setiap individu,” ujar Psikolog Sehat. “Mari ciptakan ruang kerja yang nyaman dan suportif buat semua!”
Sobat Sehat, ingat ya, disabilitas bukan halangan untuk berkarya. Dengan sedikit penyesuaian dan dukungan, penyandang autisme bisa mencapai prestasi luar biasa! Yuk wujudkan lingkungan kerja yang inklusif dan dukung semua orang untuk berkembang!
Tips Menjaga Kesehatan Mental:
- Kenali diri sendiri:Â Pahami kebutuhan dan batasanmu.
- Komunikasi terbuka:Â Bicaralah pada orang terdekat tentang kesulitanmu.
- Kelola stres: Cari aktivitas relaksasi yang kamu suka, misalnya yoga atau meditasi.
- Jalin hubungan positif:Â Kelilingi diri dengan orang yang suportif dan pengertian.
- Minta bantuan profesional:Â Jangan ragu mencari bantuan psikolog atau konselor.
Rutinitas kerja yang jelas juga ditekankan karena individu autis memerlukan kejelasan, struktur, dan rutinitas. Majikan harus memberikan waktu kerja yang jelas, harapan, proyek, dan tenggat waktu untuk membuat individu autis lebih efisien dalam pekerjaan mereka. Penulis berpendapat bahwa tangga korporat menjadi lebih sulit bagi individu autis, menyebabkan pekerjaan yang berbayar rendah dan kurangnya pemberdayaan di tempat kerja.
Dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh orang-orang autis di tempat kerja, penting bagi kita untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung bagi semua orang. Melalui penyesuaian yang tepat dan pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan individu, kita dapat memastikan bahwa semua karyawan merasa dihargai dan didukung dalam mencapai potensi penuh mereka.